Epistimiologi

Oleh : Apip Sohibul Faroji, S.Sos. M.Ag

Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme.

Epistemologi (teori pengetahuan), mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolak ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru, ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.

Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal[1].

Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris[2].

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster’s Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai “The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity”. Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah “the theory of knowledge.” Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan “the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge.”

Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.

Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.

Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.

Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.

2.2. Pokok Bahasan Epistemologi

Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:

1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[3]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî[[4], hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.

b. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.

c. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).

d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini[5]

e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.

f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.

g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.[6]

h. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.

i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.

j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.

2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan[7]. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Epistemologi dalam telaah universal dibagi atas dua jenis, epistemologi apriori dan epistemologi aposteriori.

1. Epistemologi apriori: Bagian epistemologi ini membicarakan tentang wujud mental, ilmu dan kognisi. Dengan kata lain, subyek dari epistemologi ini, adalah eksistensi dan esensi daripada ilmu. Adapun predikat-predikat yang dipredikasikan atas subyek epistemologi ini, seperti kenonmaterian ilmu, kematerian ilmu, kesatuan ‘âlim dan ma’lûm, kualitas mental dan sebagainya. Misalnya dikatakan: wujud ilmu, adalah non materi atau esensi ilmu, adalah kualitas mental atau ilmu dibagi atas hudhuri dan hushuli serta contoh-contoh lainnya. Jenis epistemologi ini, disebut epistemologi sebelum terealisasi dan teraktual ilmu-ilmu atau disebut juga epistemologi filosofis. Perlu juga disebutkan bahwa jenis epistemologi ini mempunyai dua tema bahasan utama, ontologi ilmu dan penyingkapan ilmu. Yakni, terkadang pembahasan berbicara tentang wujud dan mahiyah ilmu dan terkadang pembahasan berhubungan dengan penyingkapan makrifat-makrifat terhadap realitas dan hakikat.

2. Epistemologi aposteriori: Jenis epistemologi ini merupakan kebalikan dari jenis epistemologi terdahulu, ia ada sesudah merealitas dan mengaktualnya ilmu dan makrifat manusia serta tidak memperhatikan pada wujud atau mahiyah ilmu sebagai realitas dalam akal dan mental manusia; akan tetapi subyek-subyeknya, adalah totalitas makrifat-makrifat dan proposisi-proposisi atau konsepsi-konsepsi (tashawwur) dan afirmasi-afirmasi (tashdiq) yang maujud dalam berbagai ilmu. Dengan kata lain, subyek dari golongan epistemologi ini adalah dari tipe dan jenis makrifat.

2.3 Metode Epistemologi

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

2.4 Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain

a. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.

b. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi[8]. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

c. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.

2.6 Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan

Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.

Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur)[9] dan penegasan (at-tashdiq)[10], atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat[11]. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.

1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat

Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.

Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.

2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno

Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides[12]. Hal ini karena ia menempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, ia mengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu[13].

Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme[14].

Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir[15].

Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu[16]. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.

Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan[17].

Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi[18].

Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran[19]. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.

Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal)[20].

Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka[21]. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.

Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi[22].

Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah[23]. Iamenetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi)[24], dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.

Kelompok Rawaqiyun[25] yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas[26].

Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid[27].

Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).

Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.

3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)

Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.

Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.

Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud)[28].

Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.

Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada[29].


[1] Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar eropa, jilid satu, hal. 74.

[2] Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, jilid kedua, hal. 141.

[3] Perlu diketahui bahwa apabila kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu itu hadir dalam jiwa dan pikiran kita. Pada satu sisi kita memahami bahwa pada setiap sesuatu memiliki dua dimensi, dimensi kuiditas dan dimensi wujud. Apabila sesuatu yang hadir dalam pikiran kita adalah kuiditasnya (mahiyah), maka ilmu kita terhadap sesuatu itu disebut “ilmu hushûlî” atau “pengenalan rasional“. Pengenalan rasional ini memahami objek-objeknya lewat symbol-simbol, kata-kata, kalimat, atau rumus-rumus. Namun, kalau sesuatu yang hadir dalam jiwa kita adalah wujud eksternalnya, maka ilmu kita terhadap sesuatu itu di sebut “ilmu hudhûrî” atau “pengenalan intuitif“. Misalnya ketika kita melihat api yang ada di luar diri kita, kalau yang kita tangkap dari api adalah kuiditasnya, maka api yang ada di dalam pikiran kita tidak akan membakar pikiran kita, akan tetapi, jika yang hadir dalam diri kita adalah wujud api itu sendiri, maka niscaya akan membakar diri kita, karena yang memiliki pengaruh membakar itu hanyalah wujud api, bukan kuiditasnya. Dengan demikian, ilmu hudhûrî menangkap objeknya secara langsung (immediate) dan berkaitan dengan hakikat sesuatu. Pengetahuan intuitif ini ditandai oleh hadirnya objek di dalam diri si subjek, karena itu pengetahuan ini disebut “presensial“. Sementara ilmu hushûlî hanya berhubungan dengan gambaran sesuatu itu. Ali Syirwani, Syarh-e Mushthalahât-e Falsafi, hal. 110-111.

[5] . Kebenaran yang belum diyakini adalah suatu bentuk kebenaran yang diterima secara taklid dari orang-orang yang dipercaya dan belum melalui proses penelitian secara sistimatis dan logis.

[6] Plato adalah orang pertama yang melontarkan bahwa keyakinan benar yang bisa dibuktikan sebagai makrifat hakiki. Kaum epistemolog Barat mayoritas menyetujui makna ilmu seperti ini. Aflatun, Daure-ye Otsor, jilid kedua, hal. 1119. Paul Edward, Dâiratul Ma’ârif, jilid ketiga, hal. 10.

[7] Dalam epistemologi kontemporer di Barat dibahas esensi ilmu (keyakinan benar yang bisa dibuktikan), esensi alim (yang mengetahui), esensi ma’lum (yang diketahui), sumber ilmu, keluasan ilmu yang mencakup ilmu terhadap Tuhan, jiwa manusia, materi, hakikat sebagaimana adanya (noman), fenomena (yang tampak kepada kita), pembagian ilmu berdasarkan keabsahan ma’lum, keabsahan alat, keabsahan metode, keabsahan kehadiran ilmu, dan juga berdasarkan tolok ukur ilmu. Apabila subyek epistemologi adalah penyingkapan secara umum, maka akan tercakup segala apa yang disebutkan itu.

[8] Seperti pengkajian kaidah tentang sebab dan akibat, ada dan tiada, kemestian, kemungkinan dan kemustahilan mewujud, wujud tetap dan berubah, qidam dan huduts, wujud pikiran dan eksternal, wujud dan kuiditas, potensi dan aktual, dan wujud materi, mitsal, dan non-materi.

[9] Yang dimaksud dengan at-tashawwur (penggambaran, konsepsi) adalah suatu gambaran pikiran dimana bukan penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain, seperti gambaran tentang bulan, matahari, bumi, langit, Tuhan, dan malaikat yang ada dalam pikiran kita

[10] Yang dimaksud dengan at-tashdiq (pembenaran, pengesahan) adalah penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain dalam bentuk positif atau negatif, seperti dikatakan: Tuhan ada, ular naga tiada, jiwa manusia non-materi, ….Dalam setiap pembenaran terdapat tiga penggambaran: 1. Gambaran subyek, 2. Gambaran predikat, 3. Gambaran tentang hubungan subyek dan predikat.

[11] Yang dimaksud dengan ‘kategori-kategori kedua filsafat’ (konsep-konsep filosofis) adalah suatu konsep yang tidak memiliki individu luar dan tidak memiliki wujud mandiri, namun berwujud mengikuti keberadaan subyeknya. Konsep ini diperoleh dari analisa akal terhadap perkara-perkara eksternal, kehadiran konsep ini tidak bisa terlepas dari keberadaan objek eksternalnya. Seperti konsep tentang ’sebab’ dan ‘akibat’, misalnya: api adalah ’sebab’ panas atau panas adalah ‘akibat’ dari api. Kalau kita perhatikan di alam eksternal, yang ada itu hanyalah api dan panas. ‘Sebab’ dan ‘akibat’ itu tidak nampak diluar. Munculnya konsep ’sebab’ itu berasal dari analisa akal atas hubungan khusus antara api dan panas, dan konsep ’sebab’ itu lantas dipredikasikan kepada api. Oleh karena itu, walaupun ’sebab’ ialah sifat untuk api, tapi ini ti`dak berarti bahwa ’sebab’ itu memiliki wujud yang mandiri dan terpisah dari api dan kemudian melekat pada api. Semua konsep dalam filsafat berada dalam kategori-kategori seperti ini

[12] Capelestun, Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal 65.

[13] Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal 15.

[14] Yusuf Keram, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, hal. 21.

[15] Frederick Copleston, Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal. 99.

[16] Ibid, hal. 106.

[17] Ibid, hal. 112.

[18] Ibid, hal. 126.

[19] Ibid, hal. 149

[20] Frederick Copleston,Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal. 171.

[21] Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha, hal. 10-11.

[22] Ibid, hal. 11.

[23] Ibid, hal. 12. Dan Aristoteles, Metafisik, hal. 95.

[24] Seperti pengetahuan kita terhadap keberadaan dan wujud diri kita sendiri.

[25] . Yang didirikan pada tahun 300 M

[26] Frederick Copleston,Tarikh Falsafe-ye Garb, hal. 443

[27] Ibid, hal. 261.

[28] Plotinus,Tâsu’ât, risalah ketiga, pasal empat, dan risalah kesembilan, pasal sembilan dan pertama.

[29] Paul Edward, Ruh-e Falsafeh dar Qarn-e Wustha, hal. 348.

Leave a comment